PENENTUAN AWAL SYAWAL 1431 H
Kapankah lebaran? Itulah pertanyaan yang sering kali muncul dan dipertanyakan. Bagaimanakah menentukan awal Idul Fitri ? Apakah bulan Ramadhan kali ini 29 hari ataukah 30 hari?
Penentuan awal Idul Fitri ditentukan oleh pengamatan Hilal, sabit Bulan tipis yang nampak oleh mata telanjang pada langit senja di kaki langit Barat sesaat setelah Bulan melewati fase konjungsi atau dalam bahasa arab dikenal sebagai Ijtimak. Pada fase ini Bulan tidak dapat terlihat dari Bumi karena permukaan yang nampak dari bumi tidak mendapat sinar Matahari atau yang juga kita kenal sebagai fasa Bulan Baru. Acuan Visibilitas hilal ini memberi implikasi perbedaan setiap bulan islam bisa terdiri dari 29 hari atau 30 hari.Untuk mengamati penampakan Hilal di penghujung senja di ufuq Barat, ada beberapa kaidah yang sebaiknya diketahui secara umum, yakni:
Awal Syawal 1431 H
Untuk tahun ini, konjungsi atau ijtimak akhir Ramadhan 1431 H akan bertepatan dengan tanggal 8 September 2010, pukul 10 : 30 UT atau 17 : 30 WIB atau 18 : 30 WITA atau 19 : 30 WIT, yaitu ketika nilai bujur Ekliptika Matahari dan Bulan sama-sama 165,677 derajat. Pada saat konjungsi, jarak sudut Matahari dan Bulan (elongasi) adalah 4,277 derajat. Elongasi ini lebih besar daripada jumlah semi diameter Bulan dan Matahari pada saat tersebut, yaitu 0,543 derajat, sehingga pada saat konjungsi tidak akan terjadi Gerhana Matahari. Dengan demikian, peristiwa konjungsi ini tidak akan teramati secara visual. Periode sinodis Bulan sendiri terhitung sejak konjungsi sebelumnya hingga konjungsi yang akan datang ini adalah 29 hari 7 jam 22 menit.
Dari waktu konjungsi tersebut dan jika disesuaikan dengan waktu terbenamnya matahari, maka bisa dikatakan untuk wilayah Indonesia bagian barat, konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam. Sedangkan wilayah tengah dan timur, konjungsi terjadi setelah Matahari terbenam. Jika demikian, rukyat baru bisa dilaksanakan setelah Matahari terbenam tanggal 8 September 2010 untuk Indonesia Bagian Barat sedangkan untuk wilayah tengah dan timur, rukyat baru bisa dilaksanakan tanggal 9 September 2010.
Peta hilal di Indonesia pada tanggal 8 September 2009. Hilal berada di bawah ufuk setelah Matahari terbenam. Sumber : BMKG
Peta ketinggian HIlal pada tanggal 9 September 2010. Hilal berada pada ketinggian 8 - 10,75 derajat dan dapat dirukyat di seluruh Indonesia. Sumber : BMKG
Jika dilihat dari ketinggian hilal pada tanggal 8 September 2010, seluruh wilayah Indonesia tidak akan dapat melihat hilal karena Bulan sudah lebih dahulu terbenam sebelum Matahari terbenam, dengan ketinggian hilal saat Matahari terbenam berkisar antara -4,50 derajat sampai dengan -2,88 derajat dan umur bulan pada kisaran -1,98 jam sampai dengan 1.20 jam. Positif dan negatif karena di Indonesia bagian barat konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam. Adapun di Indonesia bagian tengah dan timur konjungsi terjadi setelah Matahari terbenam. Ketinggian negatif menandakan hilal berada di bawah horison saat Matahari terbenam. Saat Matahari terbenam tanggal 9 September 2010, ketinggian Hilalnya antara 8 derajat sampai dengan 10,75 derajat dengan usia bulan berkisar antara 22,10 jam sampai dengan 25,19 jam.
Karena pada hari pertama ijtimak di seluruh Indonesia tidak dapat menyaksikan hilal setelah Matahari terbenam, maka hilal baru bisa dilihat satu hari sesudahnya. Selain itu karena hilal di tanggal 9 September 2010 juga sudah mencapai ketinggian 8 – 10,75 derajat maka dapat disimpulkan, awal Syawal 1431 H akan jatuh pada tanggal 10 September 2010.
Pengamatan hilal awal Syawal akan dilakukan oleh Kemenkominfo bekerja sama dengan Observatorium Bosscha juga dilakukan oleh BMKG dan masyarakat RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) dari beberapa titik pengamatan di antaranya adalah Biak (Papua), Kupang (NTT), Makasar, Mataram (NTB), Surabaya, Samarinda, Yogyakarta, Bandung (Observatorium Bosscha dan Uiversitas Pendidikan Indonesia), Pamengpeuk (Jawa Barat), Pekanbaru (Riau), Lok Ngah (Aceh). Tayangan langsung pengamatan hilal dari beberapa lokasi di Indonesia ini bisa disaksikan di laman Hilal Observatorium Bosscha dan laman Hilal Depkominfo dan bisa diikuti di twitter di #hilalindonesia.
sumber : http://langitselatan.com/2010/09/07/penentuan-awal-syawal-1431h/
Penentuan awal Idul Fitri ditentukan oleh pengamatan Hilal, sabit Bulan tipis yang nampak oleh mata telanjang pada langit senja di kaki langit Barat sesaat setelah Bulan melewati fase konjungsi atau dalam bahasa arab dikenal sebagai Ijtimak. Pada fase ini Bulan tidak dapat terlihat dari Bumi karena permukaan yang nampak dari bumi tidak mendapat sinar Matahari atau yang juga kita kenal sebagai fasa Bulan Baru. Acuan Visibilitas hilal ini memberi implikasi perbedaan setiap bulan islam bisa terdiri dari 29 hari atau 30 hari.Untuk mengamati penampakan Hilal di penghujung senja di ufuq Barat, ada beberapa kaidah yang sebaiknya diketahui secara umum, yakni:
- Langit cerah atau cukup cerah berawan tipis
- Waktu pengamatan telah melewati waktu konjungsi/ijtimak
- Waktu penampakan hilal umumnya dalam senja nautika (jarak zenith Matahari sekitar 95 atau 96 derajat)
- Pada saat Matahari terbenam dan bahkan Matahari mencapai jarak zenith sekitar 95 atau 96 derajat posisi Bulan masih harus di atas ufuq . Penampakan hilal umumnya dalam langit senja nautika ketika kedudukan Matahari mencapai 5 atau 6 derajat di bawah ufuq atau di bawah horizon Barat. Senja nautika diantara senja sipil dan senja astronomi..
- Ukuran luas sabit Bulan sedemikian rupa sehingga bisa cukup terang dan mudah dideteksi oleh mata telanjang manusia
Awal Syawal 1431 H
Untuk tahun ini, konjungsi atau ijtimak akhir Ramadhan 1431 H akan bertepatan dengan tanggal 8 September 2010, pukul 10 : 30 UT atau 17 : 30 WIB atau 18 : 30 WITA atau 19 : 30 WIT, yaitu ketika nilai bujur Ekliptika Matahari dan Bulan sama-sama 165,677 derajat. Pada saat konjungsi, jarak sudut Matahari dan Bulan (elongasi) adalah 4,277 derajat. Elongasi ini lebih besar daripada jumlah semi diameter Bulan dan Matahari pada saat tersebut, yaitu 0,543 derajat, sehingga pada saat konjungsi tidak akan terjadi Gerhana Matahari. Dengan demikian, peristiwa konjungsi ini tidak akan teramati secara visual. Periode sinodis Bulan sendiri terhitung sejak konjungsi sebelumnya hingga konjungsi yang akan datang ini adalah 29 hari 7 jam 22 menit.
Dari waktu konjungsi tersebut dan jika disesuaikan dengan waktu terbenamnya matahari, maka bisa dikatakan untuk wilayah Indonesia bagian barat, konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam. Sedangkan wilayah tengah dan timur, konjungsi terjadi setelah Matahari terbenam. Jika demikian, rukyat baru bisa dilaksanakan setelah Matahari terbenam tanggal 8 September 2010 untuk Indonesia Bagian Barat sedangkan untuk wilayah tengah dan timur, rukyat baru bisa dilaksanakan tanggal 9 September 2010.
Peta hilal di Indonesia pada tanggal 8 September 2009. Hilal berada di bawah ufuk setelah Matahari terbenam. Sumber : BMKG
Peta ketinggian HIlal pada tanggal 9 September 2010. Hilal berada pada ketinggian 8 - 10,75 derajat dan dapat dirukyat di seluruh Indonesia. Sumber : BMKG
Jika dilihat dari ketinggian hilal pada tanggal 8 September 2010, seluruh wilayah Indonesia tidak akan dapat melihat hilal karena Bulan sudah lebih dahulu terbenam sebelum Matahari terbenam, dengan ketinggian hilal saat Matahari terbenam berkisar antara -4,50 derajat sampai dengan -2,88 derajat dan umur bulan pada kisaran -1,98 jam sampai dengan 1.20 jam. Positif dan negatif karena di Indonesia bagian barat konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam. Adapun di Indonesia bagian tengah dan timur konjungsi terjadi setelah Matahari terbenam. Ketinggian negatif menandakan hilal berada di bawah horison saat Matahari terbenam. Saat Matahari terbenam tanggal 9 September 2010, ketinggian Hilalnya antara 8 derajat sampai dengan 10,75 derajat dengan usia bulan berkisar antara 22,10 jam sampai dengan 25,19 jam.
Karena pada hari pertama ijtimak di seluruh Indonesia tidak dapat menyaksikan hilal setelah Matahari terbenam, maka hilal baru bisa dilihat satu hari sesudahnya. Selain itu karena hilal di tanggal 9 September 2010 juga sudah mencapai ketinggian 8 – 10,75 derajat maka dapat disimpulkan, awal Syawal 1431 H akan jatuh pada tanggal 10 September 2010.
Pengamatan hilal awal Syawal akan dilakukan oleh Kemenkominfo bekerja sama dengan Observatorium Bosscha juga dilakukan oleh BMKG dan masyarakat RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) dari beberapa titik pengamatan di antaranya adalah Biak (Papua), Kupang (NTT), Makasar, Mataram (NTB), Surabaya, Samarinda, Yogyakarta, Bandung (Observatorium Bosscha dan Uiversitas Pendidikan Indonesia), Pamengpeuk (Jawa Barat), Pekanbaru (Riau), Lok Ngah (Aceh). Tayangan langsung pengamatan hilal dari beberapa lokasi di Indonesia ini bisa disaksikan di laman Hilal Observatorium Bosscha dan laman Hilal Depkominfo dan bisa diikuti di twitter di #hilalindonesia.
sumber : http://langitselatan.com/2010/09/07/penentuan-awal-syawal-1431h/
AIR DI BINTANG KARBON
Air, komponen satu ini memang penting sebagai penopang kehidupan seperti yang kita kenal di Bumi. Karena itu berbagai penelitian dan pengamatan dilakukan untuk menemukan keberadaan air di alam semesta terutama pada planet yang serupa Bumi yang berada dalam area laik huni.
CW Leonis yang dilihat Teleskop Herschel. Kredit : ESA/PACS/SPIRE/MESS Consortia
Dalam pengamatan yang dilakukannya, Teleskop Herschel milik ESA berhasil mendeteksi keberadaan uap air di sebuah lokasi yang pada awalnya dianggap tidak mungkin ada uap air disana. Uap air tersebut dilihat ESA pada atmosfer bintang karbon raksasa merah.
Bintang Yang Mulai Menua
Dengan mempelajari berbagai fase dalam siklus kehidupan bintang, astronom dapat menyatukan proses yang memegang peranan dalam evolusi bintang serta interaksinya dengan lingkungan sekitar. Dari hasil mempelajari proses tersebut, bintang bermassa rendah yang tadinya biasa saja ( massa < 8 – 9 kali massa Matahari) ternyata bisa memberi kejutan. Dan itulah yang terjadi dengan CW Leonis atau yang dikenal sebagai IRC +10216, bintang karbon raksasa merah yang sedang mengalami proses penuaan.
Siklus kehidupan bintang bermassa rendah pada umumnya berakhir dengan mengerut dan bukannya sebuah ledakan. Jadi setelah waduk hidrogen dalam inti bintang terkonsumsi, bintang kemudian mulai menggunakan bahan bakar nuklir berikutnya yakni helium untuk diubah menjadi karbon. Setelah helium habis, bintang tidak dapat mencapai temperatur yang sangat tinggi untuk reaksi fusi nuklir elemen yang lebih berat. Bintang kemudian mulai mengembang (dengan pertumbuhan radius bintang sampai beberapa ratus sampai ribuan kali) dan memasuki tahap yang dikenal sebagai raksasa merah.
Pada tahap ini, bintang akan mengalami kehilangan massa yang cukup besar dan kemudian melontarkan lapisan terluarnya dan membentuk kerangka sirkumbintang yang terdiri dari debu dan molekul-molekul. Periode ini juga dikenal sebagai fasa Asymptotic Giant Branch, yang mengacu pada lokasi bintang dalam diagram Hertzsprung-Russell. Pada saat bersamaan, sisa reruntuhan bintang yang kaya dengan karbon dan oksigen akan terus berkontraksi dan berevolusi menjadi bintang yang lebih kecil yaitu bintang katai putih yang sangat panas.
Gas yang dilontarkan ke ruang antar bintang oleh angin bintang yang kuat dari bintang AGB ini justru kaya dengan elemen berat khususnya karbon dan oksigen. Kelimpahan kedua unsur ini berbeda dari bintang ke bintang.
CW Leonis
Bintang yang diamati Herschel, CW Leonis merupakan bintang paling terang (dalam cahaya infra merah) dan sekaligus merupakan bintang raksasa merah terdekat. Selain itu bintang ini juga memiliki selubung yang di dominasi oleh karbon. Lingkungan yang kaya karbon seperti ini jelas diharapkan dapat mengontrol sejumlah reaksi kimia organik. Dalam reaksi tersebut, hampir semua oksigen terikat dengan molekul karbon monoksida (CO) dan silikon monoksida (SiO)
Pada tahun 2001, berita mengejutkan datang dari hasil pengamatan CW Leonis yang dilakukan oleh Submillimetre Wave Astronomy Satellite (SWAS). SWAS mengungkap keberadaan uap air (H2O) di selubung bintang.
Air, molekul yang satu ini memang sangat penting dan menjadi elemen utama yang mendukung keberadaan kehidupan di Bumi. Dari sinilah berbagai penelitian dan pengamatan dilakukan untuk bisa mendeteksi keberadaan molekul yang satu ini.
Tanda yang dilihat SWAS pada garis spektrum yang ia ambil menunjukkan keberadaan molekul air dengan temperatur hanya 61 K, dan dengan demikian menempatkan air tersebut berada di bagian luar atau tepatnya di selubung bintang yang dingin.
Penjelasan yang diberikan astronom mengasumsikan kalau air tersebut muncul dari penguapan awan ataupun benda dingin seperti komet atau planet katai yang ada di sekeliling bintang. Akan tetapi dibutuhkan juga mekanisme lainnya yang bisa menjelaskan keberadaan uap air di selubung CW Leonis. Dan pendeteksian yang berasal dari satu garis tidaklah cukup untuk dijadikan bukti keberadaan uap air tersebut.
Pengamatan Herschel
November 2009, setelah teleskop Herschel bertugas dan mengamati CW Leonis dengan menggunakan spektrometer SPIRE dan PACS pada panjang gelombang 55 – 670 mikron. Hasilnya, Herschel melihat tidak hanya 1 melainkan berhasil mengidentifikasi 60 garis keberadaan air yang terkait langsung dengan sejumlah level energetik molekul.
Pendeteksian dari sebagian besar garis yang dipancarkan oleh molekul yang sama jelas memberikan informasi penting. Hal ini disebabkan karena setiap garis terkait dengan energi tertentu, dengan demikian mengarah pada temperatur tertentu. Banyaknya garis yang dilihat justru membantu untuk melacak sumber air tersebut di selubung antar bintang. Garis-garis yang terkait temperatur tinggi akan membawa informasi kalau molekulnya berada semakin dekat dnegan permukaan bintang.
Spektrum dengan presisi yang tinggi didapat dengan menggunakan spektrometer Herschel mengindikasikan temperatur pada 1000 K. Ini jelas menunjukan kalau air tidak hanya berada pada selubung terluar seperti diindikasikan pada data SWAS, namun juga ada pada selubung tengah dan dalam dari CW Leonis. Akibatnya, butuh mekanisme lain untuk menjelaskan bukti pengamatan baru tersebut.
Air Yang Dilihat Herschel
Untuk bisa memproduksi air pada lingkungan kaya karbon, atom oksigen harus dilepas dari molekul dimana ia terikat, dalam hal ini CO dan SiO untuk kemudian bergabung dengan hidrogen. Dalam kasus ini, dibutuhkan radiasi energetik dari foton ultra ungu / ultra violet (UV) untuk memisahkan molekul pembawa oksigen tersebut.
Ilustrasi pembentukan air di sekeliling bintang karbon. Kredit : ESA. Adapted from L. Decin et al. (2010)
Struktur selubung antar bintang yang tidak teratur dan cenderung bergumpal-gumpal inilah yang menyebabkan foton UV dari ruang antar bintang dapat masuk cukup dalam melalui selubung. Di dalam selubung foton UV akan memicu terjadinya rangkaian reaksi yang memproduksi air yang tampak tersebut serta beberapa molekul lainnya seperti Amonia (NH3).
Data dari herschel tak pelak menantang pengetahuan yang ada terkait kimiawi bintang yang terjadi di selubung bintang yang sedang menua. Sekaligus membawa para peneliti untuk melihat pentingnya fotokimia yang disebabkan oleh foton UV di lingkungan tersebut. Proses serupa juga bisa menjelaskan kondisi yang berlawanan, dalam hal ini keberadaan molekul kaya karbon di bintang AGB yang selubungnya didominasi oleh oksigen.
CW Leonis memang contoh pertama keberadaan air di bintang karbon. Namun dengan keberadaan Herschel, di masa depan ia akan meneliti bintang karbon lainnya untuk membuktikan mekanisme tersebut pada sampel yang lebih luas lagi.
Sumber : ESA
CW Leonis yang dilihat Teleskop Herschel. Kredit : ESA/PACS/SPIRE/MESS Consortia
Dalam pengamatan yang dilakukannya, Teleskop Herschel milik ESA berhasil mendeteksi keberadaan uap air di sebuah lokasi yang pada awalnya dianggap tidak mungkin ada uap air disana. Uap air tersebut dilihat ESA pada atmosfer bintang karbon raksasa merah.
Bintang Yang Mulai Menua
Dengan mempelajari berbagai fase dalam siklus kehidupan bintang, astronom dapat menyatukan proses yang memegang peranan dalam evolusi bintang serta interaksinya dengan lingkungan sekitar. Dari hasil mempelajari proses tersebut, bintang bermassa rendah yang tadinya biasa saja ( massa < 8 – 9 kali massa Matahari) ternyata bisa memberi kejutan. Dan itulah yang terjadi dengan CW Leonis atau yang dikenal sebagai IRC +10216, bintang karbon raksasa merah yang sedang mengalami proses penuaan.
Siklus kehidupan bintang bermassa rendah pada umumnya berakhir dengan mengerut dan bukannya sebuah ledakan. Jadi setelah waduk hidrogen dalam inti bintang terkonsumsi, bintang kemudian mulai menggunakan bahan bakar nuklir berikutnya yakni helium untuk diubah menjadi karbon. Setelah helium habis, bintang tidak dapat mencapai temperatur yang sangat tinggi untuk reaksi fusi nuklir elemen yang lebih berat. Bintang kemudian mulai mengembang (dengan pertumbuhan radius bintang sampai beberapa ratus sampai ribuan kali) dan memasuki tahap yang dikenal sebagai raksasa merah.
Pada tahap ini, bintang akan mengalami kehilangan massa yang cukup besar dan kemudian melontarkan lapisan terluarnya dan membentuk kerangka sirkumbintang yang terdiri dari debu dan molekul-molekul. Periode ini juga dikenal sebagai fasa Asymptotic Giant Branch, yang mengacu pada lokasi bintang dalam diagram Hertzsprung-Russell. Pada saat bersamaan, sisa reruntuhan bintang yang kaya dengan karbon dan oksigen akan terus berkontraksi dan berevolusi menjadi bintang yang lebih kecil yaitu bintang katai putih yang sangat panas.
Gas yang dilontarkan ke ruang antar bintang oleh angin bintang yang kuat dari bintang AGB ini justru kaya dengan elemen berat khususnya karbon dan oksigen. Kelimpahan kedua unsur ini berbeda dari bintang ke bintang.
CW Leonis
Bintang yang diamati Herschel, CW Leonis merupakan bintang paling terang (dalam cahaya infra merah) dan sekaligus merupakan bintang raksasa merah terdekat. Selain itu bintang ini juga memiliki selubung yang di dominasi oleh karbon. Lingkungan yang kaya karbon seperti ini jelas diharapkan dapat mengontrol sejumlah reaksi kimia organik. Dalam reaksi tersebut, hampir semua oksigen terikat dengan molekul karbon monoksida (CO) dan silikon monoksida (SiO)
Pada tahun 2001, berita mengejutkan datang dari hasil pengamatan CW Leonis yang dilakukan oleh Submillimetre Wave Astronomy Satellite (SWAS). SWAS mengungkap keberadaan uap air (H2O) di selubung bintang.
Air, molekul yang satu ini memang sangat penting dan menjadi elemen utama yang mendukung keberadaan kehidupan di Bumi. Dari sinilah berbagai penelitian dan pengamatan dilakukan untuk bisa mendeteksi keberadaan molekul yang satu ini.
Tanda yang dilihat SWAS pada garis spektrum yang ia ambil menunjukkan keberadaan molekul air dengan temperatur hanya 61 K, dan dengan demikian menempatkan air tersebut berada di bagian luar atau tepatnya di selubung bintang yang dingin.
Penjelasan yang diberikan astronom mengasumsikan kalau air tersebut muncul dari penguapan awan ataupun benda dingin seperti komet atau planet katai yang ada di sekeliling bintang. Akan tetapi dibutuhkan juga mekanisme lainnya yang bisa menjelaskan keberadaan uap air di selubung CW Leonis. Dan pendeteksian yang berasal dari satu garis tidaklah cukup untuk dijadikan bukti keberadaan uap air tersebut.
Pengamatan Herschel
November 2009, setelah teleskop Herschel bertugas dan mengamati CW Leonis dengan menggunakan spektrometer SPIRE dan PACS pada panjang gelombang 55 – 670 mikron. Hasilnya, Herschel melihat tidak hanya 1 melainkan berhasil mengidentifikasi 60 garis keberadaan air yang terkait langsung dengan sejumlah level energetik molekul.
Pendeteksian dari sebagian besar garis yang dipancarkan oleh molekul yang sama jelas memberikan informasi penting. Hal ini disebabkan karena setiap garis terkait dengan energi tertentu, dengan demikian mengarah pada temperatur tertentu. Banyaknya garis yang dilihat justru membantu untuk melacak sumber air tersebut di selubung antar bintang. Garis-garis yang terkait temperatur tinggi akan membawa informasi kalau molekulnya berada semakin dekat dnegan permukaan bintang.
Spektrum dengan presisi yang tinggi didapat dengan menggunakan spektrometer Herschel mengindikasikan temperatur pada 1000 K. Ini jelas menunjukan kalau air tidak hanya berada pada selubung terluar seperti diindikasikan pada data SWAS, namun juga ada pada selubung tengah dan dalam dari CW Leonis. Akibatnya, butuh mekanisme lain untuk menjelaskan bukti pengamatan baru tersebut.
Air Yang Dilihat Herschel
Untuk bisa memproduksi air pada lingkungan kaya karbon, atom oksigen harus dilepas dari molekul dimana ia terikat, dalam hal ini CO dan SiO untuk kemudian bergabung dengan hidrogen. Dalam kasus ini, dibutuhkan radiasi energetik dari foton ultra ungu / ultra violet (UV) untuk memisahkan molekul pembawa oksigen tersebut.
Ilustrasi pembentukan air di sekeliling bintang karbon. Kredit : ESA. Adapted from L. Decin et al. (2010)
Struktur selubung antar bintang yang tidak teratur dan cenderung bergumpal-gumpal inilah yang menyebabkan foton UV dari ruang antar bintang dapat masuk cukup dalam melalui selubung. Di dalam selubung foton UV akan memicu terjadinya rangkaian reaksi yang memproduksi air yang tampak tersebut serta beberapa molekul lainnya seperti Amonia (NH3).
Data dari herschel tak pelak menantang pengetahuan yang ada terkait kimiawi bintang yang terjadi di selubung bintang yang sedang menua. Sekaligus membawa para peneliti untuk melihat pentingnya fotokimia yang disebabkan oleh foton UV di lingkungan tersebut. Proses serupa juga bisa menjelaskan kondisi yang berlawanan, dalam hal ini keberadaan molekul kaya karbon di bintang AGB yang selubungnya didominasi oleh oksigen.
CW Leonis memang contoh pertama keberadaan air di bintang karbon. Namun dengan keberadaan Herschel, di masa depan ia akan meneliti bintang karbon lainnya untuk membuktikan mekanisme tersebut pada sampel yang lebih luas lagi.
Sumber : ESA